RI News Portal. Wonogiri, 7 November 2025 – Di tengah kondisi keamanan yang relatif stabil, Kabupaten Wonogiri justru dihadapkan pada krisis diam-diam: lonjakan kasus bunuh diri yang mencapai rata-rata tiga peristiwa setiap bulan. Fenomena ini, yang didominasi oleh faktor ekonomi dan kesehatan kronis, mendorong Kapolres Wonogiri AKBP Wahyu Sulistyo SH SIK MPM untuk menginisiasi dialog mendalam dengan tokoh lintas agama. Pertemuan ramah tamah di sebuah restoran lokal pada Kamis lalu bukan sekadar silaturahmi, melainkan panggilan untuk aksi kolektif yang mengintegrasikan penguatan spiritual dengan intervensi sosial-ekonomi.
Dalam suasana penuh empati, AKBP Wahyu membuka diskusi dengan mengakui pencapaian bersama: Wonogiri tetap kondusif dibandingkan kabupaten lain di Jawa Tengah, di mana provinsi ini sendiri mencatat 478 kasus bunuh diri sepanjang 2024—angka tertinggi nasional yang menandakan urgensi nasional. “Keamanan kita terjaga berkat sinergi semua pihak, termasuk Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Namun, saya tak bisa tutup mata pada tragedi ini,” ujarnya, merujuk data internal Polres yang memperkirakan 30 kasus tahunan, potensial lebih tinggi karena underreporting. Hadir pula Kabagops Polres, Kasatreskrim, Kasat Intelkam, Kasat Narkoba, serta Kasi Humas AKP Anom Prabowo SH MH, yang menegaskan komitmen institusi dalam mendeteksi dini tanda-tanda krisis mental.

Yang paling mengkhawatirkan, korban utama adalah kelompok usia produktif 30-40 tahun, yang terjebak dalam jerat kemiskinan struktural pasca-pandemi dan fluktuasi harga komoditas pertanian—tulang punggung ekonomi Wonogiri. “Mereka nekat karena beban hutang dan ketidakpastian pekerjaan, sementara lansia sering kali menyerah pada penyakit tak tersembuhkan,” tambah AKBP Wahyu, pria berusia 41 tahun yang lahir di tahun kelahirannya sendiri menjadi simbol generasi yang memahami tekanan era digital. Berbeda dengan kasus sporadis di daerah tetangga, pola di Wonogiri menunjukkan korelasi kuat dengan akses terbatas terhadap layanan kesehatan jiwa, di mana hanya satu puskesmas per kecamatan yang memiliki konselor terlatih.
Inisiatif ini melampaui pendekatan konvensional polisi, yang biasanya fokus pada respons pasca-insiden. AKBP Wahyu mengajak FKUB—meliputi perwakilan Islam dari Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Lembaga Dakwah Islam Indonesia, dan Majelis Tablighat Ahlussunnah wal Jamaah; serta Kristen Protestan, Katolik, Hindu, dan Buddha—untuk menjadi agen perubahan di akar rumput. “Agama adalah benteng terkuat melawan keputusasaan. Mari kita integrasikan pesan harapan dalam khutbah, katekese, dan doa bersama, sambil membangun jaringan pendampingan lintas mazhab,” tegasnya. Respons tokoh agama pun segera mengalir: Ketua FKUB Wonogiri, yang mewakili keragaman 18 kelompok keagamaan di kabupaten berpenduduk 600 ribu jiwa ini, berkomitmen menggelar serangkaian sesi konseling spiritual mingguan, mulai dari masjid pedesaan hingga vihara terpencil.
Pendekatan holistik ini didukung oleh perspektif akademis yang semakin mendesak. Penelitian terbaru dari Fakultas Psikologi Universitas Sebelas Maret menyoroti bahwa intervensi berbasis agama dapat menurunkan risiko bunuh diri hingga 25 persen di komunitas rural seperti Wonogiri, di mana stigma mental health masih kuat. “Spiritualitas bukan pengganti terapi, tapi katalisator. Dengan menggabungkan narasi agama yang menekankan ketahanan—seperti konsep ‘sabar’ dalam Islam atau ‘karma baik’ dalam Hindu—kita bisa membangun resiliensi kolektif,” kata Dr. Rina Wijayanti, pakar kesehatan jiwa yang terlibat dalam studi longitudinal 2023-2025. Temuan ini selaras dengan model WHO’s Gatekeeper Training, yang telah sukses di Asia Tenggara, di mana tokoh agama dilatih sebagai ‘penjaga gerbang’ untuk identifikasi dini.
Tak berhenti di ranah rohani, AKBP Wahyu menekankan dimensi ekonomi sebagai fondasi pencegahan jangka panjang. Bersama Bupati Wonogiri dan Forum Koordinasi Penanaman Modal Daerah, Polres berkomitmen menciptakan ekosistem ramah investasi—dari usaha mikro berbasis pertanian organik hingga inkubator UMKM berteknologi rendah. “Investasi kecil pun bisa ciptakan lapangan kerja, kurangi pikiran sempit yang mematikan. Bayangkan, satu koperasi desa bisa selamatkan puluhan keluarga dari jurang depresi,” ungkapnya. Langkah ini terinspirasi dari program serupa di Kabupaten Gunungkidul, yang berhasil tekan angka bunuh diri 15 persen melalui diversifikasi ekonomi pasca-krisis pangan 2022.

Pertemuan ini bukan akhir, melainkan babak baru dalam narasi Wonogiri: dari daerah wisata waduk berkilau menjadi model ketahanan mental nasional. Dengan kolaborasi yang menjembatani aparat, agama, dan sains, harapan muncul bahwa 30 kasus tahunan itu bukan takdir, tapi panggilan untuk bertindak. Seperti yang disinggung salah satu tokoh Hindu dalam diskusi, “Kehidupan adalah sungai; rintangan ada, tapi alirannya menuju samudra kedamaian.” Di Wonogiri, sungai itu kini mulai mengalir lebih deras, membawa pesan bahwa bantuan selalu ada—satu cerita, satu doa, satu peluang pada satu waktu.
Pewarta : Nandang Bramantyo

