
RI News Portal. Deir Al-Balah, Jalur Gaza 31 Mei 2025 — Situasi kemanusiaan di Jalur Gaza kembali menjadi sorotan dunia internasional menyusul laporan tewasnya sedikitnya 27 warga Palestina dalam serangan udara terbaru oleh Israel pada Jumat (30/5). Di tengah eskalasi konflik tersebut, Hamas menyatakan masih melakukan evaluasi terhadap proposal gencatan senjata sementara yang diusulkan Amerika Serikat.
Meskipun proposal tersebut telah mendapatkan persetujuan awal dari pihak Israel, respon awal Hamas terhadap usulan tersebut menunjukkan sikap yang hati-hati dan skeptis. “Proposal ini belum menjawab tuntutan utama rakyat Palestina, yaitu penghentian total perang dan pemulihan hak hidup dasar,” ujar Bassem Naim, pejabat senior Hamas.
Presiden Donald Trump menyampaikan pernyataan optimistis pada hari yang sama bahwa para negosiator dari AS, Mesir, dan Qatar “hampir mencapai kesepakatan”. Namun, hingga saat ini, detail resmi dari proposal tersebut belum dipublikasikan secara terbuka.

Sumber anonim dari kalangan diplomatik menyebut bahwa rencana tersebut mencakup jeda pertempuran selama 60 hari, dimulainya negosiasi menuju gencatan senjata permanen, dan jaminan Israel tidak akan melanjutkan serangan setelah pembebasan sandera. Dalam kerangka pertukaran, Hamas ditengarai akan menyerahkan jenazah dan beberapa sandera sebagai imbalan atas pembebasan lebih dari 1.100 tahanan Palestina di penjara-penjara Israel.
Situasi kemanusiaan di Gaza dinilai telah mencapai titik nadir. Blokade berkepanjangan yang diperketat sejak akhir 2023 menyebabkan akses terhadap pangan, air bersih, dan layanan medis sangat terbatas. Menurut pernyataan Bulan Sabit Merah Palestina, bantuan kemanusiaan yang masuk belum mampu memenuhi kebutuhan dasar penduduk.
“Setiap hari kami harus antre berjam-jam hanya untuk mendapatkan sedikit makanan,” ujar Mohammed Abed, warga Deir al-Balah. “Kami hanya makan sekali sehari. Ini bukan hidup—ini kelangsungan biologis yang dipaksa oleh kekejaman politik.”
Laporan dari Rumah Sakit Shifa di Gaza menunjukkan bahwa pada Jumat lalu saja, sedikitnya 72 korban jiwa tercatat akibat serangan udara, termasuk anak-anak dan perempuan. Jumlah tersebut diperkirakan lebih tinggi, mengingat beberapa wilayah utara Gaza telah terputus aksesnya akibat pertempuran.
Konflik berkepanjangan di Gaza kembali menyoroti kegagalan komunitas internasional dalam mengupayakan penyelesaian damai yang berkelanjutan. Upaya mediasi oleh Amerika Serikat, Mesir, dan Qatar memperlihatkan adanya momentum diplomatik, namun belum mampu menghasilkan terobosan substantif. Proposal gencatan senjata sebelumnya kerap gagal akibat pelanggaran oleh kedua belah pihak, serta ketidakpercayaan struktural yang mendalam.
Di sisi lain, Israel menyatakan bahwa serangan Hamas pada 7 Oktober 2023 yang menewaskan sekitar 1.200 warga Israel—mayoritas sipil—dan menyandera 250 orang, merupakan serangan paling mematikan sejak perang Yom Kippur 1973. Dari jumlah sandera tersebut, 58 orang masih diyakini berada di Gaza, meskipun Israel menyatakan sekitar 35 di antaranya telah tewas.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menegaskan bahwa pembebasan sandera adalah syarat mutlak dalam setiap kesepakatan. Namun, kebijakan militer Israel yang tetap melanjutkan serangan bahkan setelah gencatan senjata sementara pada Maret 2024 menimbulkan keraguan serius di pihak Palestina.

Situasi di Jalur Gaza menunjukkan keterkaitan erat antara dinamika konflik bersenjata dan kegagalan diplomasi multilateral. Dalam konteks akademik, krisis ini mencerminkan defisit legitimasi dalam sistem hukum internasional terkait perlindungan warga sipil dan penyelesaian konflik.
Usulan gencatan senjata 60 hari, meskipun dipandang sebagai langkah awal, tetap terhambat oleh kurangnya jaminan politik dan hukum yang kredibel. Ketika infrastruktur kemanusiaan runtuh dan kepercayaan antar pihak hancur, setiap proses negosiasi memerlukan pengawasan internasional yang lebih kuat serta keterlibatan aktif lembaga-lembaga seperti PBB dan Mahkamah Pidana Internasional (ICC).
Sebagaimana dinyatakan oleh Duta Besar Qatar untuk PBB, Alya Ahmed Saif Al-Thani, “Kami berkomitmen penuh untuk mengakhiri tragedi ini. Tetapi diplomasi tidak akan berhasil jika tidak dibarengi dengan keadilan yang nyata.”
Pewarta : Setiawan S.TH

#rinewsadvertaising, #iklanrinews, #ruangiklan, #terkinirinews,
#beritarinews, #viralrinews, #updaterinews, #inforinews,
#beritarepublikindonesia, #beritaindonesia, #republikindonesianews,
#indonesianews, #republicindonesianews, #republicindonesiannews,
#beritacepat, #beritabaru, #ri_news, #republikindonesiaportal, #pertalberitaindonesia,
#rinewsportal, #republikindonesiaportal, #republicindonesianewsportal, #republicindonesianportal