
RI News Portal. Jakarta, 16 Juli 2025 — Kejaksaan Agung Republik Indonesia secara resmi menetapkan empat tersangka dalam kasus dugaan korupsi program Digitalisasi Pendidikan yang berlangsung pada periode 2019 hingga 2022. Penetapan ini merupakan langkah lanjutan dari penyidikan intensif terhadap proyek strategis nasional yang dikelola oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) dengan total pagu anggaran mencapai Rp9,3 triliun.
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung, Hari Siregar, menyampaikan bahwa dari empat tersangka yang ditetapkan, tiga di antaranya berasal dari lingkungan internal Kemendikbudristek, yaitu SW selaku mantan Direktur Sekolah Dasar, MUL selaku mantan Direktur Sekolah Menengah Pertama, dan JT yang menjabat sebagai Staf Khusus Mendikbudristek. Sementara satu tersangka lainnya adalah IBAM, konsultan teknologi dari pihak swasta yang bekerja sama dengan kementerian.
“Penyidik telah memeriksa 80 orang saksi serta tiga ahli di bidangnya. Kami juga menyita sejumlah barang bukti elektronik, termasuk laptop, ponsel, harddisk, dan flashdisk,” ujar Hari Siregar dalam konferensi pers di Gedung Kejagung, Rabu (16/7/2025).

Menurut Kejagung, kerugian keuangan negara yang ditimbulkan dalam kasus ini diperkirakan mencapai lebih dari Rp1,98 triliun. Nilai tersebut terdiri dari dua komponen utama, yakni selisih kontrak proyek sebesar Rp480 miliar serta praktik penggelembungan harga (mark-up) pengadaan laptop sebesar Rp1,5 triliun. Praktik ini diduga menyimpang dari ketentuan dalam Cetak Biru Digitalisasi Madrasah (CDM) yang seharusnya menjadi acuan.
Para tersangka dijerat dengan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001, serta Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP tentang penyertaan dalam tindak pidana.
Pasal 2 UU Tipikor menjerat pelaku yang secara melawan hukum memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi yang merugikan keuangan negara. Sementara Pasal 3 menyasar penyalahgunaan wewenang oleh penyelenggara negara. Dalam konteks ini, keterlibatan pejabat struktural dan staf khusus kementerian menunjukkan adanya kemungkinan penyalahgunaan jabatan dan kebijakan dalam pengadaan barang/jasa pemerintah.
Baca juga : Partisipasi Disabilitas dalam Proses Legislasi Daerah: Kanwil Kemenkumham Sulsel Dorong Regulasi Inklusif
Dari sisi etika pemerintahan dan tata kelola pendidikan, kasus ini menunjukkan adanya kegagalan dalam prinsip akuntabilitas, transparansi, dan integritas birokrasi pendidikan. Program digitalisasi pendidikan yang semestinya mendorong pemerataan akses teknologi justru menjadi ladang praktik manipulatif oleh elite birokrasi dan aktor swasta.
Kasus ini menjadi preseden penting dalam evaluasi proyek-proyek besar di sektor pendidikan, khususnya yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta Dana Alokasi Khusus (DAK). Kebutuhan reformasi dalam sistem pengadaan, pengawasan internal, dan pelibatan publik dalam pengawasan kebijakan pendidikan menjadi semakin mendesak.
Pakar hukum administrasi publik dari Universitas Indonesia, Prof. Dr. Andi Wijaya, menilai bahwa “transparansi dalam penggunaan DAK dan pengawasan partisipatif dari masyarakat sipil harus menjadi bagian integral dari kebijakan pendidikan ke depan. Proyek digitalisasi tak boleh sekadar menjadi jargon modernisasi, tetapi harus menjamin keberlanjutan, akses, dan integritas dalam pelaksanaannya.”
Dengan penetapan tersangka ini, Kejaksaan Agung diharapkan dapat menuntaskan proses hukum secara adil dan tuntas, serta mendorong penguatan sistemik dalam tata kelola pendidikan nasional berbasis integritas dan keberpihakan pada kepentingan peserta didik.
Pewarta : Yogi Hilmawan
