
RI News Portal. Jakarta – Perkembangan geopolitik di Pasifik Selatan mencatat babak baru dengan tercapainya kesepakatan antara pemerintah pusat Prancis dan wilayah otonom Kaledonia Baru pada Sabtu, 12 Juli 2025. Melalui dokumen setebal 13 halaman, Paris dan Nouméa menyepakati pembentukan “Negara Kaledonia Baru”, sebuah entitas politik semi-berdaulat yang tetap berada di bawah protektorat Prancis, namun dengan hak kewarganegaraan tersendiri dan kendali atas kebijakan luar negeri secara mandiri.
Langkah ini menandai perubahan penting dalam relasi pusat-daerah antara Republik Prancis dan salah satu wilayah terjauhnya yang terletak lebih dari 17.000 km dari Paris. Presiden Emmanuel Macron menyambut baik kesepakatan tersebut, dengan menyatakan bahwa ini merupakan “taruhan kepercayaan” yang menunjukkan semangat baru untuk membangun masa depan bersama yang stabil dan inklusif. Dalam unggahannya di platform X, Macron menegaskan perlunya “rasa hormat, stabilitas, dan niat baik” dalam menata ulang relasi politik ini.
Kaledonia Baru merupakan wilayah dengan sejarah panjang kolonialisme Prancis sejak abad ke-19. Ketegangan antara pemerintah pusat dan komunitas pribumi Kanak telah lama mewarnai dinamika politik lokal. Suku Kanak, yang mencakup sekitar 40% dari populasi wilayah ini, telah menyuarakan aspirasi kemerdekaan selama beberapa dekade. Konflik memuncak pada Mei 2024 saat pecah kerusuhan menyusul pengesahan undang-undang Prancis yang memperluas hak pilih kepada penduduk non-pribumi. Bagi komunitas Kanak, hal tersebut dinilai mengancam keberlanjutan identitas politik mereka dan mempersempit kemungkinan meraih kedaulatan penuh.

Kerusuhan tersebut menyebabkan 14 korban jiwa dan kerugian ekonomi sebesar 2 miliar euro, atau setara dengan Rp37 triliun, memangkas sekitar 10% dari Produk Domestik Bruto (PDB) wilayah tersebut. Dalam konteks inilah, kesepakatan 2025 muncul sebagai respons politik terhadap krisis sosial yang menguji legitimasi pemerintahan Prancis di Pasifik.
Kesepakatan politik ini mencakup beberapa aspek kunci:
- Pembentukan Negara Kaledonia Baru: Sebagai entitas dengan status khusus dalam kerangka Republik Prancis, negara ini akan memiliki simbol dan perangkat kewarganegaraan tersendiri.
- Kendali atas Kebijakan Luar Negeri: Meskipun berada di bawah payung Prancis, Nouméa akan memiliki ruang independen dalam menjalin hubungan diplomatik dan ekonomi luar negeri.
- Referendum Tambahan: Parlemen Prancis akan membahas dan menyetujui naskah kesepakatan ini pada kuartal IV 2025. Jika disetujui, referendum rakyat Kaledonia Baru akan digelar pada 2026, guna menentukan kewenangan lanjutan atas pertahanan, keamanan, peradilan, dan mata uang.
- Potensi Keanggotaan PBB: Jika proses ini berjalan lancar dan pengakuan internasional dapat diperoleh, maka Kaledonia Baru berpotensi menjadi anggota penuh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), memperkuat status de jure-nya sebagai sebuah negara.
Kesepakatan ini mencerminkan pendekatan baru dalam menyikapi dinamika pascakolonialisme modern. Di satu sisi, Prancis mempertahankan pengaruh geopolitiknya di Pasifik dengan menawarkan kompromi simbolik dan struktural. Di sisi lain, masyarakat lokal mendapatkan ruang lebih luas untuk merumuskan identitas nasional mereka, termasuk kewarganegaraan, kebijakan luar negeri, dan institusi politik internal.
Baca juga : Operasi Patuh 2025: Strategi Terpadu Polri Cegah Pelanggaran dan Tekan Kecelakaan Lalu Lintas
Nicolas Metzdorf, anggota parlemen Prancis yang terlibat dalam perundingan, menyebut kesepakatan ini sebagai “kompromi penting” yang lahir dari proses dialog yang intens. Pernyataannya menekankan bahwa pemberian status kewarganegaraan Kaledonia merupakan bentuk konsesi nyata yang memperkuat legitimasi politik lokal.
Walaupun kesepakatan ini membawa harapan rekonsiliasi, implementasinya menghadapi tantangan struktural dan sosial. Ketimpangan ekonomi, polarisasi etnis, serta potensi konflik atas wewenang antara Paris dan Nouméa dapat mengganggu proses transisi. Selain itu, hasil referendum 2026 akan menjadi penentu utama arah masa depan Kaledonia Baru, apakah tetap dalam struktur semi-otonom atau melangkah menuju kemerdekaan penuh.
Kasus Kaledonia Baru menjadi preseden penting dalam studi politik global, khususnya dalam konteks desentralisasi asimetris dan reformasi pascakolonial. Transisi menuju entitas semi-berdaulat dalam protektorat modern menegaskan bahwa identitas nasional, keadilan sejarah, dan stabilitas politik dapat dijembatani melalui pendekatan kompromistis dan multilateral. Dunia kini menantikan hasil akhir dari eksperimen politik ini—apakah akan menjadi model sukses atau justru menciptakan ketegangan baru di Pasifik Selatan.
Pewarta : Yudha Purnama
