
RI News Portal. Dubai, Uni Emirat Arab 1 Juli 2025 — Pemerintah Iran akhirnya mengakui kerusakan parah di tiga fasilitas nuklir utamanya, yakni Fordo, Isfahan, dan Natanz, usai serangan udara Amerika Serikat dan Israel. Meski begitu, Teheran tetap membuka peluang untuk kembali berunding dengan Washington terkait program nuklirnya.
Juru Bicara Pemerintah Iran, Fatemeh Mohajerani, mengungkapkan kerusakan serius itu dalam konferensi pers, sebagaimana dikutip kantor berita resmi IRNA. Serangan udara Amerika pada 22 Juni lalu menghantam fasilitas nuklir yang dinilai sangat strategis, termasuk Fordo yang dibangun di bawah pegunungan sekitar 100 kilometer barat daya Teheran.
Sementara itu, serangan udara Israel sejak 13 Juni juga melumpuhkan jajaran komando Garda Revolusi Iran dan menghancurkan sebagian besar persenjataan rudal balistik Iran. Israel menuding program nuklir Iran sudah berada di ambang kemampuan membuat senjata nuklir, meskipun menurut Badan Energi Atom Internasional (IAEA) dan intelijen AS, Iran terakhir memiliki program senjata nuklir terorganisir pada 2003, dan kini hanya memperkaya uranium sampai 60 persen.

Di sisi lain, Iran merilis angka korban jiwa yang jauh lebih tinggi dari sebelumnya. Juru Bicara Kehakiman Iran, Asghar Jahangir, menyebutkan serangan Israel menewaskan sedikitnya 935 warga Iran, termasuk 38 anak-anak dan 102 perempuan. Namun data berbeda dirilis kelompok aktivis HAM yang berbasis di Washington, Human Rights Activists, yang memperkirakan total korban tewas mencapai 1.190 orang, dengan lebih dari 4.400 lainnya luka-luka.
Iran sendiri belum merinci sepenuhnya kerusakan di situs nuklirnya. Namun citra satelit yang dianalisis media AS menunjukkan adanya aktivitas pemulihan di Fordo, dengan keberadaan truk, crane, dan alat berat di area terowongan. Hal ini memunculkan spekulasi bahwa Iran mungkin sempat memindahkan uranium atau sentrifugal sebelum serangan terjadi.
Baca juga : Pemkot Gorontalo Kukuhkan Satgas Percepatan Peningkatan PAD, Fokus Garap Sektor Jasa
Meski menghadapi tekanan dari kelompok garis keras di dalam negeri, pemerintah Iran menyatakan belum menutup pintu diplomasi dengan Amerika Serikat. Menteri Luar Negeri Iran, Abbas Araghchi, juga masih membuka opsi perundingan, walaupun jadwalnya belum diputuskan.
Sementara itu, sikap keras muncul dari kalangan konservatif. Surat kabar Kayhan, yang dikenal dekat dengan Pemimpin Tertinggi Ayatollah Ali Khamenei, bahkan menyebut kemungkinan berunding sebagai tindakan “bodoh atau pengkhianatan”. Media tersebut juga sempat menulis bahwa Direktur Jenderal IAEA Rafael Mariano Grossi layak “diadili dan dieksekusi” jika berkunjung ke Iran, memicu kecaman luas dari negara-negara Eropa.
Pewarta : Setiawan S.Th
