
RI News Portal. Labuhanbatu Utara, 14 Juni 2025 — Insiden penghadangan terhadap Ketua Persatuan Wartawan Duta Pena Indonesia (PWDPI), M. Idris, oleh anggota kelompok tani saat hendak meliput kunjungan kerja Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Labuhanbatu Utara ke Kantor Kelompok Petani Lestari Sejahtera (KPLS) di Desa Air Hitam, Kecamatan Kualuh Ledong, memicu sorotan terhadap penegakan kebebasan pers di daerah.
Peristiwa tersebut terjadi pada Jumat, 13 Juni 2025, sekitar pukul 02.45 WIB di depan pos jaga kantor KPLS. Berdasarkan penuturan Idris, dirinya ditolak masuk dengan alasan tidak memiliki undangan resmi dari pihak kelompok tani. Penolakan ini disampaikan oleh seorang anggota kelompok tani bernama Sutrisno beserta rekan-rekannya, yang mengaku hanya menjalankan perintah dari atasan.
“Kami hanya menjalankan perintah. Tamu yang tidak diundang tidak diperbolehkan masuk,” ujar Sutrisno kepada Idris dengan nada suara tinggi.
M. Idris yang mengaku hadir sebagai jurnalis untuk menjalankan tugas peliputan mempertanyakan penolakan tersebut.
“Saya wartawan, mau meliput kegiatan DPRD, masa tidak boleh masuk?” kata Idris mempertanyakan tindakan penghadangan tersebut.

Menurut informasi, bahkan salah satu dari petugas kelompok sempat merekam peristiwa penolakan tersebut menggunakan kamera ponsel, dan kembali menegaskan bahwa “tanpa undangan dari kelompok tani KPLS, siapapun tidak diperbolehkan masuk ke area kantor.”
Setelah lebih dari satu jam perbincangan antara wartawan, pihak kelompok tani, dan perwakilan DPRD, akhirnya awak media diizinkan memasuki area kantor. Keputusan tersebut diambil setelah dilakukan klarifikasi langsung dengan ketua kelompok tani KPLS dan beberapa anggota DPRD yang telah lebih dulu berada di dalam.
Namun, substansi rapat yang berlangsung tertutup tersebut hingga kini belum sepenuhnya terbuka kepada publik. Beberapa pihak menduga pertemuan itu membahas isu-isu internal kelompok tani yang dinilai sensitif, dan diduga tidak sepenuhnya sesuai dengan agenda kunjungan resmi DPRD.
Insiden ini mengundang pertanyaan serius dari sudut pandang hukum, terutama dalam konteks Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Dalam Pasal 18 Ayat (1) UU Pers dinyatakan bahwa:
“Setiap orang yang secara sengaja melakukan tindakan yang menghambat atau menghalangi pelaksanaan tugas jurnalistik dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun atau denda paling banyak lima ratus juta rupiah.”
Kebebasan pers diakui sebagai bagian dari hak asasi manusia yang dijamin oleh Konstitusi Indonesia, khususnya Pasal 28F Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang menyatakan bahwa:
“Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya.”
Dalam hal ini, tindakan penghadangan terhadap wartawan yang sedang menjalankan fungsi kontrol sosial melalui peliputan kegiatan lembaga legislatif daerah dapat dinilai sebagai bentuk pembatasan yang tidak proporsional, apalagi jika dilakukan tanpa dasar hukum yang sah.
Baca juga : Organisasi Pers Laporkan Oknum (A) ke Polda Metro Jaya atas Dugaan Penghinaan Profesi Jurnalis
Di sisi lain, perlu dicermati pula bahwa akses terhadap ruang pertemuan kelompok swadaya masyarakat seperti KPLS juga tunduk pada aturan internal organisasi dan asas-asas kesopanan sosial. Namun demikian, ketika suatu kegiatan melibatkan pejabat publik dan berkaitan dengan kepentingan publik, prinsip keterbukaan seharusnya menjadi norma utama yang dijunjung.
Penolakan tanpa alasan yang sah terhadap jurnalis, apalagi disertai dengan intimidasi verbal dan tindakan fisik (penghadangan), sangat berpotensi melanggar prinsip kebebasan pers yang dijamin oleh hukum nasional dan standar internasional.
- Perlu dilakukan klarifikasi dan mediasi antara organisasi pers dengan kelompok tani untuk membangun pemahaman bersama tentang hak-hak jurnalis dalam menjalankan tugas.
- Pemerintah daerah dan DPRD sebaiknya memberikan edukasi kepada masyarakat, khususnya organisasi lokal, terkait pentingnya akses informasi publik dan peran media dalam pembangunan demokrasi.
- Perlu evaluasi terhadap transparansi kelembagaan seperti KPLS dalam menerima kunjungan lembaga legislatif yang seharusnya terbuka untuk pengawasan publik.
Kasus ini menjadi cerminan penting bahwa kebebasan pers bukan sekadar hak jurnalis, tetapi fondasi utama demokrasi. Tindakan penghalangan semacam ini harus menjadi bahan introspeksi bersama di tengah meningkatnya tuntutan akan akuntabilitas dan keterbukaan publik.
Pewarta : T-Gaul

#rinewsadvertaising, #iklanrinews, #ruangiklan, #terkinirinews,
#beritarinews, #viralrinews, #updaterinews, #inforinews,
#beritarepublikindonesia, #beritaindonesia, #republikindonesianews,
#indonesianews, #republicindonesianews, #republicindonesiannews,
#beritacepat, #beritabaru, #ri_news, #republikindonesiaportal, #pertalberitaindonesia,
#rinewsportal, #republikindonesiaportal, #republicindonesianewsportal, #republicindonesianportal
#teman, #all, #wartawan, #berita
Semangat terus buat jurnalis