RI News Portal. Medan, 8 November 2025 – Menteri Komunikasi dan Digital (Komdigi) Meutya Hafid meresmikan Garuda Spark Innovation Hub di Medan dengan misi utama: menjadikan kecerdasan buatan (AI) sebagai tulang punggung inovasi agrikultur di Sumatera Utara. Berbeda dari pusat-pusat teknologi urban yang cenderung mengutamakan fintech atau e-commerce, hub ini secara eksplisit memprioritaskan solusi berbasis lahan pertanian, tanpa menutup pintu bagi ide lain yang relevan dengan ketahanan pangan.
“Medan bukan sekadar titik transit; ia adalah laboratorium hidup untuk AI yang memahami tanah gambut, pola musim hujan, dan rantai pasok hortikultura,” ujar Meutya saat peresmian, Sabtu lalu. Pernyataan ini bukan retorika kosong: data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa 42% PDRB Sumatera Utara masih bersumber dari sektor primer, dengan nilai ekspor komoditas perkebunan mencapai US$3,2 miliar pada 2024.
Meutya menegaskan bahwa pelatihan dan seminar saja tidak cukup. Garuda Spark dirancang sebagai living ecosystem yang mempertemukan tiga aktor kunci: talenta muda, pemimpin bisnis, dan investor. Di dalamnya terdapat “Connection Hub”—sebuah platform matchmaking berbasis algoritma yang menghubungkan startup dengan pemodal ventura dan mitra industri. Prototipe awal telah mengintegrasikan data satelit LAPAN dan sensor IoT lokal untuk memetakan risiko banjir pada lahan sawit.

Fasilitas fisik mencakup ruang kolaborasi dengan bandwidth 1 Gbps, studio prototipe berbasis 3D printing untuk pengembangan drone pertanian, serta akses langsung ke mentor dari Silicon Valley dan Telkom University. Program berjalan dalam tiga fase: fondasi (tahun pertama, fokus kurasi talenta), aktivasi (1–3 tahun, inkubasi produk), dan integrasi-ekspansi (pasca-tahun ketiga, skalabilitas regional).
Kota Medan saat ini menduduki peringkat ketujuh dalam indeks daya saing nasional versi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Kehadiran Garuda Spark diproyeksikan mendorong transaksi e-commerce agrikultur lokal mencapai Rp35 triliun pada 2030—angka yang setara dengan 15% dari total proyeksi e-commerce nasional untuk sektor primer.
Dengan slogan From Spark to Impact, hub ini mengadopsi pendekatan glocal: solusi harus lahir dari permasalahan spesifik Sumatera Utara—seperti prediksi serangan hama wereng pada padi Deli—namun tetap terhubung dengan jaringan nasional Garuda Spark di enam kota lain. Prinsip ini menjawab kritik terhadap model inkubator “copy-paste” yang sering gagal di daerah.
Meski ambisius, program ini menghadapi dua hambatan struktural. Pertama, literasi digital petani masih rendah; hanya 28% petani di Sumut yang menggunakan aplikasi pertanian (survei Komdigi 2024). Kedua, akses modal ventura untuk agtech masih terbatas—hanya 3% dari total investasi startup nasional mengalir ke sektor ini.
Namun, peluangnya besar. Startup lokal seperti AgroAI—yang mengembangkan model prediksi hasil panen berbasis computer vision—telah menarik minat investor Singapura. Jika 100 startup serupa lahir dari Garuda Spark dalam lima tahun, dampak ekonominya bisa mencapai Rp2,1 triliun per tahun, berdasarkan perhitungan produktivitas AI di sektor agrikultur (McKinsey, 2023).
“Kepercayaan diri bukanlah slogan; ia adalah produk yang bisa diukur dengan prototipe, paten, dan pendapatan,” tutup Meutya. Bagi generasi muda Medan, Garuda Spark bukan sekadar ruang kerja—ia adalah undangan untuk mengubah ide sederhana menjadi solusi yang mengakar di tanah Sumatra dan berdampak hingga ke pasar global.
Pewarta : Adi Tanjoeng

