RI News Portal. Semarang, 8 November 2025 – Fakultas Hukum Universitas Semarang (FH USM) sukses menyelenggarakan Seminar Nasional bertajuk “Reformasi Peradilan: Mewujudkan Hakim yang Profesional dan Berintegritas” pada jum’at (07/11//2025) di Ruang Teleconference Lantai 8 Gedung Menara USM. Acara ini sekaligus menjadi ajang call for paper yang mengundang kontribusi akademik untuk memperkaya diskursus reformasi yudisial di Indonesia.
Dekan FH USM, Dr. Amri P. Sihotang, SS, SH, MHum, membuka acara secara resmi. Ia menekankan bahwa forum ini menjadi ruang krusial bagi pertukaran gagasan dan analisis kritis dari berbagai pemangku kepentingan. “Seminar ini bertujuan menghimpun masukan substantif guna memperkuat fondasi peradilan yang independen dan berkeadilan,” ujarnya.
Empat narasumber berkompeten dihadirkan: Dr. Suparman Marzuki, SH, MH (mantan Ketua Komisi Yudisial RI 2013–2015), Dr. Hamdan Zoelva, SH, MH (mantan Ketua Mahkamah Konstitusi 2013–2015), Dr. M. Junaidi, SH, MH (dosen Pascasarjana Magister Hukum USM), serta Dr. Dian Rositawati, SH, MA (Wakil Ketua Bidang Akademik Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera). Dr. Dedy Suwandi, SH, MH (dosen FH USM) bertindak sebagai moderato/

Dr. Suparman Marzuki mengawali paparan dengan menegaskan luasnya kewenangan hakim sebagaimana diamanatkan Pasal 24 UUD 1945. “Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menegakkan hukum dan keadilan,” katanya. Ia menambahkan, independensi dari intervensi eksekutif maupun legislatif menjadi pondasi mutlak agar putusan hakim mencerminkan keadilan substantif, bukan tekanan eksternal.
Dr. Hamdan Zoelva mengusulkan perluasan kewenangan Komisi Yudisial (KY) untuk menangani maraknya kasus etik hakim. Ia menyoroti persepsi historis bahwa hakim kerap berada di bawah kendali pemerintah. “Meski kini berada di bawah satu atap Mahkamah Agung, intervensi hierarkis tetap terjadi. Satu telepon dari atasan sudah cukup melumpuhkan independensi,” ungkapnya.
Zoelva juga menyinggung disrupsi teknologi seperti artificial intelligence. “ChatGPT mungkin mendekati akurasi 100 persen, tetapi etika hukum tidak bisa digantikan algoritma. Integritas lahir dari komitmen pribadi, bukan produk teknologi,” tegasnya.
Dr. M. Junaidi menegaskan posisi strategis hakim sebagai titik temu berbagai elemen penegak hukum. “Advokat, kepolisian, jaksa—semuanya bermuara pada hakim. Karena itu, profesionalisme dan integritas mereka menentukan kualitas keadilan nasional,” katanya.
Dr. Dian Rositawati menganalisis ketegangan struktural antara KY dan Mahkamah Agung. “Pola seleksi hakim masih ambigu karena melibatkan multi-regulasi. Selain itu, jaminan keamanan dan kesejahteraan hakim perlu ditingkatkan agar mereka terlindung dari tekanan eksternal,” ujarnya.
Diskusi ditutup dengan sesi tanya jawab yang menghasilkan rekomendasi konkret, termasuk harmonisasi regulasi seleksi hakim dan penguatan mekanisme pengawasan etik berbasis data. Hasil call for paper akan dikompilasi dalam prosiding untuk menjadi referensi kebijakan yudisial.
Pewarta: Sriyanto

