
“Ketika kekerasan seksual terjadi di lingkungan pendidikan, negara memiliki kewajiban untuk melindungi hak-hak korban. Dalam konteks ini, penyidik harus memberikan perlindungan yang memadai kepada korban dan menghindari praktik-praktik yang bisa menyalahgunakan proses hukum.”
RI News Portal. Jakarta, 09 Mei 2025 – Kasus dugaan pelecehan seksual oleh rektor nonaktif Universitas Pancasila (UP), ETH (72), menyoroti urgensi penanganan kekerasan seksual di lingkungan pendidikan tinggi. Artikel ini mengkaji kasus tersebut dari perspektif hukum pidana, etika pendidikan, dan perlindungan hak-hak pekerja perempuan. Keterlibatan Wakil Menteri Ketenagakerjaan serta pelaporan lambat ke aparat penegak hukum menjadi indikator lemahnya sistem perlindungan terhadap korban. Studi ini menegaskan perlunya reformasi kelembagaan di lingkungan kampus untuk membentuk sistem yang responsif dan akuntabel terhadap kekerasan seksual.
Kekerasan seksual di lingkungan pendidikan tinggi bukan sekadar pelanggaran hukum, tetapi juga pengkhianatan terhadap nilai-nilai etik dan moral yang seharusnya dijunjung tinggi oleh institusi akademik. Kasus dugaan pelecehan seksual oleh mantan Rektor Universitas Pancasila (UP), ETH, membuka ruang diskusi kritis tentang bagaimana mekanisme perlindungan, keadilan, dan akuntabilitas dijalankan di dalam kampus.

Fakta Kasus
Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker) Immanuel Ebenezer Gerungan (Noel) secara terbuka menyatakan komitmennya untuk mengawal kasus dugaan pelecehan tersebut. Ia menegaskan bahwa kementeriannya memiliki tanggung jawab melindungi pekerja, termasuk korban kekerasan seksual di kampus yang juga merupakan tenaga kerja akademik.
Dua korban berinisial RZ dan DF melaporkan ETH ke Polda Metro Jaya dan Bareskrim Polri sejak Januari 2024. Namun, hingga Mei 2025, proses hukum masih dinilai stagnan. Salah satu kuasa hukum korban, Yansen Ohoirat, menyampaikan keprihatinan atas lambannya proses penyidikan, meskipun sudah terdapat bukti pendukung seperti rekaman CCTV.
Sementara itu, rektor pengganti, Marsudi Wahyu Kisworo, mengaku diberhentikan secara sepihak oleh Yayasan Pendidikan dan Pembina UP. Ia menduga pemberhentiannya terkait penolakannya terhadap pengaktifan kembali ETH sebagai dosen.
Secara hukum, tindakan pelecehan seksual termasuk dalam delik pidana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), serta diperkuat oleh UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Dalam kasus ini, meskipun laporan korban telah masuk ke proses penyidikan, lambannya penetapan tersangka menunjukkan adanya hambatan struktural dalam sistem peradilan pidana, khususnya dalam kasus kekerasan berbasis gender.
Baca juga : Sinergi Lintas Lembaga dalam Menjaga Stabilitas Pemilu, Audiensi Bawaslu DIY dengan Korem 072/Pamungkas
Kewajiban negara untuk memastikan due process of law bagi korban sebagaimana tertuang dalam Pasal 4 UU TPKS belum terealisasi secara efektif. Aspek ini menunjukkan pentingnya penguatan kapasitas penyidik, serta urgensi pembentukan unit-unit responsif di lingkungan pendidikan dan kepolisian.
Pemberhentian Rektor Marsudi Wahyu Kisworo tanpa proses evaluasi kinerja oleh Senat Universitas—sebagaimana diamanatkan Statuta UP—menunjukkan adanya pelanggaran prinsip tata kelola universitas yang baik. Penolakan Marsudi terhadap pengaktifan ETH sebagai dosen yang diduga sebagai pelaku kekerasan seksual semestinya diapresiasi sebagai bentuk keberpihakan kepada korban.
Sayangnya, tindakan Marsudi justru diduga menjadi dasar pemberhentiannya, menciptakan preseden buruk bahwa perlindungan terhadap korban bisa berujung pada kriminalisasi moral terhadap pihak yang mendukung keadilan.
Keterlibatan Wamenaker menunjukkan bahwa kasus ini bukan semata urusan internal kampus, tetapi juga merupakan isu ketenagakerjaan dan perlindungan terhadap pekerja perempuan. Kampus sebagai institusi publik memiliki tanggung jawab untuk menciptakan ruang kerja yang aman, adil, dan inklusif.
Ketika pelecehan terjadi dalam hubungan kerja dosen dan rektor, maka selain delik pidana, terdapat pelanggaran terhadap hak-hak normatif pekerja. Dalam konteks ini, intervensi Kementerian Tenaga Kerja menjadi penting untuk memastikan bahwa standar-standar perlindungan kerja diberlakukan di lingkungan akademik.
Kasus ini menegaskan bahwa kekerasan seksual di kampus adalah persoalan struktural yang membutuhkan pendekatan multidisipliner. Diperlukan reformasi menyeluruh dalam hal:
- Penegakan hukum yang cepat dan adil terhadap pelaku kekerasan seksual.
- Penguatan tata kelola kampus, termasuk pelibatan senat akademik dalam pengambilan keputusan strategis.
- Pembangunan sistem pelaporan internal yang aman dan berpihak kepada korban.
- Perlindungan tenaga kerja akademik melalui regulasi yang menyesuaikan UU TPKS dan UU Ketenagakerjaan.
- Pendampingan psikologis dan hukum bagi korban sebagai bentuk pemulihan yang adil.
Kampus harus menjadi ruang aman, bukan hanya bagi pelajar tetapi juga bagi semua pekerja di dalamnya. Mengabaikan kasus ini berarti membiarkan kekuasaan akademik dipakai untuk membungkam keadilan.
Pewarta : Yudha Purnama

#rinewsadvertaising, #iklanrinews, #ruangiklan, #terkinirinews,
#beritarinews, #viralrinews, #updaterinews, #inforinews,
#beritarepublikindonesia, #beritaindonesia, #republikindonesianews,
#indonesianews, #republicindonesianews, #republicindonesiannews,
#beritacepat, #beritabaru, #ri_news, #republikindonesiaportal, #pertalberitaindonesia,
#rinewsportal, #republikindonesiaportal, #republicindonesianewsportal, #republicindonesianportal