
“Jika Israel berupaya menduduki Gaza kembali tanpa strategi politik jangka panjang, ia akan menanamkan dirinya dalam lingkungan yang sangat bermusuhan. Ini bukan hanya masalah militer, tetapi juga pertanyaan eksistensial tentang masa depan hubungan Israel–Palestina.”
RI News Portal. Tel Aviv ( Israel ), 06 Mei 2025 – Keputusan Israel untuk menyetujui rencana penguasaan kembali Jalur Gaza secara tidak terbatas mencerminkan pergeseran strategis signifikan dalam kebijakan militernya. Rencana ini, selain memperdalam eskalasi konflik bersenjata dengan Hamas, juga memunculkan konsekuensi serius terhadap hukum humaniter internasional, status Palestina sebagai entitas politik, dan stabilitas kawasan. Makalah ini menganalisis dinamika rencana Israel tersebut melalui pendekatan multidisipliner yang mencakup aspek hukum internasional, politik keamanan regional, serta implikasi etik dan kemanusiaan dari kebijakan yang cenderung menuju pendudukan de facto.

Pada hari Senin, dua pejabat senior Israel mengonfirmasi bahwa Kabinet Israel telah menyetujui sebuah rencana strategis untuk merebut kembali dan menetap di wilayah Jalur Gaza untuk waktu yang tidak ditentukan. Rencana ini, yang disahkan dalam pemungutan suara tertutup pada dini hari, mengindikasikan perubahan besar dalam pendekatan Israel terhadap Gaza pasca penarikan pasukan pada tahun 2005. Pendekatan baru ini berpotensi memperpanjang penderitaan warga sipil Palestina dan menciptakan ketegangan baru di tingkat internasional.
Sejak mundurnya Israel dari Gaza tahun 2005, wilayah ini menjadi locus konflik berkelanjutan antara Israel dan kelompok militan, terutama Hamas. Blokade yang diberlakukan oleh Israel dan Mesir telah memperparah krisis kemanusiaan, sementara perang-perang berulang telah menghancurkan infrastruktur sipil secara luas. Kebijakan militer terbaru Israel ini dapat dilihat sebagai kelanjutan dari upaya penundukan melalui kekuatan koersif, sekaligus respons terhadap dinamika diplomatik terkini, termasuk keterlibatan Amerika Serikat dalam perundingan gencatan senjata.
Baca juga : Komitmen ADB terhadap Ketahanan Pangan dan Gizi di Asia-Pasifik
Rencana yang disetujui oleh Kabinet Israel menyerukan pemindahan ratusan ribu warga Palestina ke wilayah selatan Gaza—sebuah tindakan yang berpotensi dikualifikasikan sebagai pemindahan paksa berdasarkan Konvensi Jenewa IV. Pemindahan massal semacam itu tidak hanya memperparah situasi kemanusiaan, tetapi juga dapat melanggar prinsip non-refoulement serta asas penghormatan terhadap hak atas tanah dan tempat tinggal. Rencana ini dilengkapi dengan mobilisasi puluhan ribu tentara cadangan, yang menunjukkan skala operasi yang direncanakan Israel.
Penerapan rencana ini, tanpa otorisasi Dewan Keamanan PBB dan dengan potensi pemindahan paksa warga sipil, menimbulkan pertanyaan serius tentang legalitas tindakan Israel di bawah hukum internasional. Pasal-pasal dalam Konvensi Jenewa dan Statuta Roma dapat digunakan sebagai dasar untuk mengkaji apakah tindakan tersebut tergolong sebagai kejahatan perang atau pelanggaran hak asasi manusia berat.
Pernyataan para pejabat Israel bahwa rencana ini tidak akan dimulai sebelum kunjungan Presiden AS Donald Trump ke Timur Tengah menunjukkan korelasi erat antara keputusan militer Israel dengan diplomasi internasional, khususnya kebijakan luar negeri AS. Serangan lanjutan terhadap pemberontak Houthi di Yaman juga menunjukkan perluasan medan konflik yang semakin kompleks, mengindikasikan bahwa Israel mungkin sedang membentuk lanskap keamanan regional baru melalui pendekatan militer yang agresif.
Sejak berakhirnya gencatan senjata dengan Hamas pada pertengahan Maret, Israel menghentikan sepenuhnya aliran bantuan ke Gaza. Penutupan akses terhadap makanan, air, dan bahan bakar telah menimbulkan krisis yang digambarkan oleh organisasi internasional sebagai yang terburuk dalam hampir dua dekade terakhir. Saat ini, sekitar 50% wilayah Gaza berada di bawah kendali militer Israel, dan jumlah korban sipil terus meningkat.
Rencana Israel untuk merebut dan menduduki Gaza berpotensi menciptakan preseden berbahaya dalam tata kelola hubungan internasional dan hukum konflik bersenjata. Komunitas internasional perlu merespons secara tegas melalui saluran diplomatik dan hukum. Diperlukan penyelidikan independen, tekanan diplomatik terhadap Israel, serta peningkatan bantuan kemanusiaan yang netral dan tidak terhalang. Selain itu, pendekatan damai jangka panjang yang menghormati hak-hak Palestina dan jaminan keamanan Israel harus menjadi prioritas utama dalam kebijakan internasional terhadap wilayah ini.
Pewarta : Setiawan S.Th

#rinewsadvertaising, #iklanrinews, #ruangiklan, #terkinirinews,
#beritarinews, #viralrinews, #updaterinews, #inforinews,
#beritarepublikindonesia, #beritaindonesia, #republikindonesianews,
#indonesianews, #republicindonesianews, #republicindonesiannews,
#beritacepat, #beritabaru, #ri_news, #republikindonesiaportal, #pertalberitaindonesia,
#rinewsportal, #republikindonesiaportal, #republicindonesianewsportal, #republicindonesianportal