
“Jason Saragih adalah potret langka dari keberanian intelektual: ia memilih meletakkan jabatan kolonial demi cita-cita mencerdaskan anak-anak bangsanya.”
RI News Portal. Simalungun, 03-Mei-2025 – Peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) 2 Mei 2025 menjadi momentum penting bagi masyarakat Kabupaten Simalungun dalam merefleksikan kembali akar historis dan kontribusi lokal terhadap dunia pendidikan nasional. Dalam konteks ini, renovasi dan peresmian kembali makam Guru Jason Saragih di Huta Tambahan, Kecamatan Raya, tidak hanya merupakan penghormatan fisik terhadap tokoh sejarah pendidikan Simalungun, melainkan juga menjadi simbol spiritual dan intelektual dalam menegaskan kembali nilai-nilai pendidikan sebagai instrumen kemajuan masyarakat.

Pendidikan di Indonesia tidak semata lahir dari kebijakan negara atau institusi kolonial, tetapi juga dari perjuangan tokoh-tokoh lokal yang memiliki kesadaran kultural dan sosial terhadap pentingnya literasi dan pembelajaran. Salah satu tokoh utama dalam sejarah pendidikan di kawasan Tapanuli Timur dan khususnya Simalungun adalah Guru Jason Saragih (1883–1963). Renovasi makamnya yang diresmikan langsung oleh Bupati Simalungun, Dr. H. Anton Achmad Saragih pada 2 Mei 2025, mencerminkan pengakuan pemerintah daerah terhadap kontribusi intelektual pendidik lokal sebagai agen perubahan sosial.
Jason Saragih lahir di Naga Hasiangan, wilayah yang kini termasuk Kabupaten Serdang Bedagai, pada tahun 1883. Ia berasal dari keluarga bangsawan dan militer, di mana ayah dan kakeknya adalah Panglima Raja Raya. Awalnya, Jason bergabung dalam barisan kolonial Belanda sebagai mandor pembukaan jalan strategis. Namun, keresahannya terhadap keterbelakangan pendidikan masyarakat mendorongnya mundur dari jabatan tersebut dan menempuh jalan spiritual dan intelektual dengan dibaptis oleh Pendeta August Theis, lalu melanjutkan pendidikan guru ke Seminari Depok di Pulau Jawa.
Baca juga : Polemik Aksi Anarko pada Mayday 2025 di Semarang, Keamanan dan Penegakan Hukum
Kepulangannya pada 1915 sebagai lulusan Seminari Depok menjadikannya sebagai orang Simalungun pertama yang mendapat pendidikan formal di Jawa. Ia kemudian mengabdikan diri di sekolah-sekolah Zending di Pematang Raya dan mendirikan berbagai lembaga pendidikan, termasuk Komite Na Ra Marpodah (1928) yang mendorong penerjemahan buku-buku pelajaran ke dalam bahasa Simalungun.
Kiprah Guru Jason tidak berhenti pada lingkup formalitas profesi guru. Ia terlibat aktif dalam membangun akses pendidikan secara merata di wilayah Simalungun. Tidak jarang ia menjemput murid dari rumah ke rumah demi memastikan kehadiran mereka di sekolah. Tindakannya mencerminkan prinsip inklusi sosial dalam pendidikan, jauh sebelum konsep tersebut menjadi arus utama dalam kebijakan pendidikan nasional.
Dalam masa pengabdiannya selama 43 tahun (1915–1958), Guru Jason telah melahirkan generasi terdidik yang menyebar ke berbagai wilayah Indonesia, berkontribusi dalam pembangunan di berbagai sektor. Atas dedikasinya, pada 29 Mei 1963, Pemerintah Kabupaten Simalungun melalui SK No. 305/1963-Uod, menganugerahkan gelar “Pelopor/Bapak Pendidik Simalungun”.
Peresmian makam yang telah direnovasi pada peringatan Hardiknas 2025 bukanlah sekadar kegiatan seremonial. Ia merepresentasikan reaktualisasi nilai-nilai pendidikan yang diwariskan oleh Guru Jason, seperti keberanian, tanggung jawab sosial, dan komitmen terhadap transformasi masyarakat melalui pengetahuan. Nilai-nilai ini tetap relevan di tengah krisis orientasi pendidikan masa kini, yang sering kali tercerabut dari konteks kultural dan historis lokal.
Tokoh pemuda Simalungun, Jhon Dalton Saragih, menekankan pentingnya menjadikan figur seperti Guru Jason sebagai inspirasi lintas generasi: “Sudah sepantasnya masyarakat Simalungun menghormati Guru Jason Saragih sebagai Pahlawan/Pelopor/Bapak Pendidik Kabupaten Simalungun.”
Studi-studi pendidikan Indonesia di masa mendatang perlu memberikan ruang lebih besar bagi narasi-narasi lokal seperti perjalanan hidup dan perjuangan Guru Jason Saragih. Revitalisasi memori kolektif ini sangat penting bukan hanya untuk memperkaya khazanah sejarah pendidikan nasional, tetapi juga untuk membangun jati diri pendidikan yang berakar pada kearifan lokal. Pendidikan tidak bisa dilepaskan dari tanah tempat ia tumbuh—dan dari orang-orang yang merintisnya dalam sunyi, seperti Guru Jason.
Pewarta : Jhon Sinaga

#rinewsadvertaising, #iklanrinews, #ruangiklan, #terkinirinews,
#beritarinews, #viralrinews, #updaterinews, #inforinews,
#beritarepublikindonesia, #beritaindonesia, #republikindonesianews,
#indonesianews, #republicindonesianews, #republicindonesiannews,
#beritacepat, #beritabaru, #ri_news, #republikindonesiaportal, #pertalberitaindonesia,
#rinewsportal, #republikindonesiaportal, #republicindonesianewsportal, #republicindonesianportal