
“Legalitas terhadap pengeboran minyak rakyat bukan sekadar persoalan administrasi energi, melainkan representasi konkret dari pengakuan negara atas praktik ekonomi komunitas yang selama ini hidup dalam bayang-bayang ketidakpastian hukum.”
RI News Portal. Semarang, 3 Mei 2025 — Pernyataan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, mengenai legalisasi pengeboran minyak rakyat menandai perubahan penting dalam arah kebijakan energi Indonesia. Dalam konteks ini, negara berupaya memberikan landasan hukum atas aktivitas yang selama ini dianggap ilegal, namun memberikan dampak ekonomi signifikan bagi masyarakat sekitar. Artikel ini mengkaji inisiatif tersebut dari perspektif kebijakan publik, hukum sumber daya alam, dan etika pembangunan berbasis partisipasi rakyat.

Selama beberapa dekade, praktik pengeboran minyak oleh masyarakat di Indonesia dilakukan secara informal, bahkan ilegal, karena ketiadaan regulasi yang jelas dan keterbatasan akses masyarakat terhadap sumber daya alam. Aktivitas yang dikenal sebagai illegal drilling ini, meskipun melanggar hukum, tetap berlangsung karena memenuhi kebutuhan ekonomi masyarakat di sekitar lokasi pengeboran. Merespons fenomena ini, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menyatakan bahwa pemerintah sedang menyiapkan regulasi berupa Peraturan Menteri (Permen) untuk memberikan dasar hukum bagi pengeboran minyak rakyat, khususnya pada sumur-sumur tua dan kecil yang tidak lagi dikelola oleh kontraktor besar.
Secara historis, pengelolaan minyak di Indonesia didominasi oleh negara dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) skala besar. Namun, dengan ditemukannya sekitar 44.900 sumur minyak—di mana lebih dari 13.000 merupakan sumur tua dan ribuan lainnya tidak terkelola secara resmi—muncul peluang untuk menggeser paradigma pengelolaan menuju model partisipatif.
Bahlil menekankan pentingnya koperasi, UMKM, dan masyarakat lokal sebagai pelaku utama dalam pengelolaan sumur-sumur tua. Kebijakan ini sejalan dengan prinsip resource nationalism yang berupaya memastikan sumber daya nasional memberi manfaat langsung bagi warga negara, bukan hanya untuk korporasi atau elite tertentu.
Dalam aspek hukum, rencana legalisasi pengeboran rakyat menghadirkan kebutuhan akan rekonstruksi norma hukum pertambangan. Selama ini, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi hanya mengakui pengelolaan oleh badan usaha yang memperoleh izin resmi. Oleh karena itu, Permen yang disiapkan oleh Kementerian ESDM perlu secara eksplisit memberikan dasar legal bagi koperasi dan masyarakat untuk menjadi subjek hukum dalam pengelolaan energi.
Namun, tantangan utama terletak pada aspek pengawasan, standardisasi keselamatan, dan tata kelola produksi agar tidak menimbulkan kerusakan lingkungan atau konflik kepentingan baru di tingkat lokal. Pemerintah perlu menyiapkan sistem verifikasi, pelatihan teknis, serta kemitraan dengan BUMN energi sebagai pengampu.
Secara etis, legalisasi pengeboran rakyat merupakan langkah afirmatif dalam memastikan keadilan distributif atas sumber daya alam. Ini mengandung makna pengakuan negara terhadap praktik ekonomi rakyat yang selama ini terpinggirkan. Pemerintah tidak hanya mengakui eksistensi mereka, tetapi juga membuka ruang legitimasi dan perlindungan hukum.
Dari sisi ekonomi politik, kebijakan ini dapat dilihat sebagai upaya meredam ketimpangan struktural dalam sektor energi. Dengan memberikan akses langsung pada produksi energi, masyarakat di daerah kaya sumber daya berpeluang meningkatkan kesejahteraan secara mandiri. Di sisi lain, hal ini juga bisa menjadi arena kontestasi baru antara aktor lokal, birokrasi daerah, dan korporasi migas.
Inisiatif legalisasi pengeboran minyak rakyat oleh Menteri ESDM merupakan titik balik penting dalam tata kelola energi nasional. Langkah ini menunjukkan keberpihakan negara kepada pelaku ekonomi kecil dan semangat demokratisasi sumber daya alam. Namun, agar kebijakan ini tidak berhenti pada populisme administratif, diperlukan:
- Sinkronisasi regulasi lintas sektor (hukum energi, lingkungan, dan koperasi);
- Desain kelembagaan yang inklusif dan akuntabel;
- Pendidikan teknis dan kapasitas pengelolaan bagi masyarakat lokal;
- Mekanisme bagi hasil yang adil dan transparan.
Kebijakan ini pada akhirnya harus dilandasi oleh prinsip-prinsip keberlanjutan, kedaulatan rakyat, dan keadilan ekonomi. Dengan begitu, sumur-sumur tua bukan hanya menjadi sumber minyak, tetapi juga simbol dari energi keadilan sosial.
Pewarta : Miftakul Ma’na

#rinewsadvertaising, #iklanrinews, #ruangiklan, #terkinirinews,
#beritarinews, #viralrinews, #updaterinews, #inforinews,
#beritarepublikindonesia, #beritaindonesia, #republikindonesianews,
#indonesianews, #republicindonesianews, #republicindonesiannews,
#beritacepat, #beritabaru, #ri_news, #republikindonesiaportal, #pertalberitaindonesia,
#rinewsportal, #republikindonesiaportal, #republicindonesianewsportal, #republicindonesianportal