RI News Portal. Manado, 2 November 2025 – Di tengah hiruk-pikuk pembangunan infrastruktur nasional, jeritan histeris masyarakat Kabupaten Minahasa Utara (Minut) semakin menggema. Korban penyerobotan lahan dan pemalsuan dokumen tanah kian bertambah, dengan dugaan keterlibatan oknum di Badan Pertanahan Nasional/Agraria dan Tata Ruang (BPN/ATR) setempat yang semakin tercium. Kasus ini bukan hanya soal tanah, tapi juga korupsi anggaran ganti rugi yang hilang di tangan pihak tak bertanggung jawab, meninggalkan luka mendalam bagi warga biasa yang bergantung pada hak milik warisan leluhur.
Johny Rondonuwu, Ketua Umum Pagar Emas Nusantara, organisasi relawan yang aktif mengadvokasi isu sosial di Sulawesi Utara, menyuarakan keprihatinan mendalam atas maraknya praktik mafia tanah di wilayahnya. Dalam wawancara eksklusif, Rondonuwu menggambarkan penderitaan warga sebagai “jeritan histeris yang tak kunjung usai”. “Banyak sekali masyarakat menjerit berteriak dengan nada histeris, dikarenakan korban mafia tanah banyak terjadi di daerah Kabupaten Minahasa Utara,” ujarnya dengan suara bergetar, menyoroti bagaimana keluarga-keluarga kehilangan lahan adat mereka secara paksa. Menurutnya, oknum mafia tanah tak hanya beroperasi di lapangan, tapi juga “bersembunyi dan bersarang di dalam kantor Agraria Pertanahan BPN/ATR Minut”, memanfaatkan celah birokrasi untuk memanipulasi data dan sertifikat.
Fenomena ini bukanlah kasus sporadis. Data dari Kementerian ATR/BPN nasional mencatat ribuan laporan serupa sepanjang 2024, dengan 48.000 kasus mafia tanah yang tersebar di seluruh Indonesia, meski 79 persen di antaranya telah diselesaikan melalui operasi khusus. Di Sulawesi Utara, isu ini semakin pelik sejak akhir 2024, ketika pemeriksaan terhadap figur seperti Agus Abidin alias Agus Elektrik mengungkap jaringan luas yang melibatkan peralihan tanah di Minut. Calon gubernur Yulius Selvanus bahkan menjadikannya isu utama dalam debat pilkada Oktober lalu, menjanjikan pemberantasan total jika terpilih. Namun, bagi warga seperti Sandy Kaunang dan Imelda Orlyn Sepang, janji itu terasa jauh dari kenyataan.

Bapak Sandy kaunang bersama istri Imelda Orlyn Sepang adalah pihak alih waris anak dari pemilik lahan milik ibu Siljce Watung, menjadi wajah nyata dari korban-korban tak kasat mata ini. Mereka mengaku menjadi sasaran langsung penyerobotan lahan di Jalan Ir. Soekarno, kawasan strategis yang kini menjadi sorotan karena proyek infrastruktur. “Dalam permasalahan kami ada tiga bahan kasus yang sudah sangat-sangat jelas: pidananya, penyerobotan lahan, pemalsuan dokumen, dan transaksi pembayaran ganti rugi di bidang lahan Jalan Ir. Soekarno yang belum dibayarkan sama sekali oleh pihak Pemkab Minahasa Utara,” ungkap Sepang kepada wartawan, matanya memerah menahan tangis. Mereka menuduh anggaran ganti rugi yang seharusnya mengalir ke pemilik sah justru “tersalurkan” ke pihak lain, meninggalkan mereka tanpa sepeser pun.
Bukti kuat yang mereka pegang—termasuk surat kepemilikan asli dan riwayat transaksi—membuat pasangan ini yakin akan jalur hukum. “Kami akan mengambil jalan yang terbaik bagi kami adalah untuk meminta kepada pihak Pemkab Minut bersama BPN/ATR Minut segera buktikan kepada kami data dokumen nama-nama yang tercantum dalam pembayaran transaksi ganti ruginya,” tegas Kaunang. Jika terbukti ada penyimpangan, ancamannya tegas: “Karena kami sudah memegang bukti kuat apa benar anggaran sudah tersalurkan dan yang menerima orang lain maka kami akan mengambil jalur hukum yang berada sudah jelas dan pasti pidana korupsi besar sekali dalam hal kasus ini.”
Baca juga : Lokal: Pengamanan Car Free Night Pracimantoro sebagai Model Pemberdayaan Pemuda dan Ekonomi Mikro pada Peringatan Sumpah Pemuda 2025
Puncak ketegangan terjadi ketika Kaunang dan Sepang menghubungi Yandri Rori, Kepala Kantor Pertanahan Agraria BPN/ATR Minut, melalui pesan singkat. Respons Rori, menurut mereka, justru menambah luka: “Lewat percakapan, buktinya bapak menjawab bahwa kami pihak BPN/ATR Minut tidak punya data sama sekali.” Pernyataan ini memicu kemarahan lebih lanjut, terutama ketika mereka menemukan bahwa lahan hak milik mereka diterbitkan Sertifikat Hak Milik (SHM) baru pada 2024 atas nama pihak lain. “Banyak sekali di wilayah tanah hak milik kami diterbitkan SHM baru pada tahun 2024 padahal disitu bidang tanah milik kami sendiri dan kami memiliki bukti surat yang sangat-sangat jelas,” papar Kaunang. “Tanah kami punya beralas bukti surat kami yang asli kami pegang sampai saat ini. Saya sudah siap bertanding melawan kalian dengan alas bukti yang sangat-sangat jelas, kasus pidananya besar adanya.”
Dugaan manipulasi sistem ini, lanjut Kaunang, melibatkan perubahan data bidang tanah di database internal BPN. “Bidang tanah yang kalian sudah atur dalam sistem kalian sendiri dan sudah jelas merubah dan memindahkan bidang tanah kami, dan saya akan buktikan kebenarannya,” janjinya, menekankan tekad untuk membawa kasus ini ke pengadilan. Modus semacam ini, menurut pakar hukum pertanahan, sering kali dimulai dari pemalsuan dokumen desa hingga putusan pengadilan fiktif, yang merugikan negara hingga triliunan rupiah secara nasional.

Kasus di Minut ini mencerminkan masalah struktural yang lebih luas di Indonesia, di mana mafia tanah memanfaatkan tumpang tindih kepemilikan dan lambatnya digitalisasi pertanahan. Ombudsman RI bahkan merekomendasikan pembentukan pengadilan agraria khusus untuk mempercepat penanganan, karena proses hukum konvensional sering dimanfaatkan untuk memperpanjang sengketa. Di tingkat nasional, Kementerian ATR/BPN telah menargetkan 87 kasus pada 2024, dengan potensi selamatkan kerugian Rp5,16 triliun. Namun, di daerah seperti Minut, implementasi kebijakan ini masih terhambat oleh dugaan keterlibatan internal.
Hingga kini, Pemkab Minut dan BPN/ATR setempat belum merespons secara resmi tudingan ini. Rondonuwu, yang juga mantan aktivis seni asal Likupang, Minut, menyerukan agar pemerintah daerah segera membentuk tim investigasi independen. “Ini bukan hanya soal tanah, tapi keadilan bagi rakyat kecil yang tanahnya adalah nafkah hidup,” tutupnya. Sementara itu, Kaunang dan Sepang terus menggalang dukungan dari sesama korban, berharap jeritan mereka tak lagi jatuh pada telinga tuli. Di Minahasa Utara yang subur, tanah bukan sekadar aset—ia adalah akar identitas yang kini terancam tercabut.
Pewarta : Marco Kawulusan

