
RI News Portal. Washington, 22 Oktober 2025 – Sebuah survei terbaru mengungkapkan perbedaan mencolok antara sikap pemerintahan Presiden Donald Trump terhadap konflik Timur Tengah dan pandangan masyarakat Amerika Serikat secara luas. Hasil jajak pendapat yang dilakukan selama enam hari dan berakhir pada Senin kemarin menunjukkan bahwa 59 persen responden mendukung pengakuan AS atas negara Palestina yang merdeka dan berdaulat, sementara hanya 33 persen menentangnya. Sisanya memilih untuk tidak yakin atau tidak menjawab.
Temuan ini menyoroti ketidaksesuaian antara penolakan Trump terhadap kedaulatan Palestina dengan sentimen publik yang semakin condong ke arah solusi dua negara. Di tengah upaya perdamaian pasca-gencatan senjata di Gaza yang baru saja diraih bulan ini, survei tersebut juga mengindikasikan bahwa masyarakat AS siap memberikan apresiasi kepada Trump jika rencananya berhasil membawa stabilitas jangka panjang di wilayah tersebut.
Pembagian opini paling tajam terlihat di kalangan Partai Republik, basis utama Trump. Sebanyak 53 persen pendukungnya menentang pengakuan negara Palestina, sementara 41 persen justru mendukung langkah tersebut. Kontras ini semakin mencolok ketika dibandingkan dengan Demokrat, di mana 80 persen responden menyatakan dukungan kuat. Data ini menunjukkan bahwa bahkan di dalam kubu konservatif, ada ruang gerak untuk perubahan sikap, terutama setelah dua tahun konflik yang telah menewaskan lebih dari 65.000 warga Palestina dan memicu krisis kemanusiaan parah di Gaza.

Survei juga menangkap pandangan kritis terhadap respons militer Israel di Gaza. Sekitar 60 persen responden menganggap tindakan tersebut berlebihan, dibandingkan dengan 32 persen yang tidak setuju. Pandangan ini bertentangan dengan dukungan kuat Trump terhadap Israel sepanjang perang, meskipun ia berhasil memediasi gencatan senjata baru-baru ini. Para analis politik melihat ini sebagai sinyal bahwa opini publik AS, yang dipengaruhi oleh laporan media tentang kelaparan dan pengungsian massal, semakin menekan kebijakan “America First” Trump untuk lebih inklusif terhadap isu Palestina.
Meski ada ketidaksepakatan, survei ini membawa catatan positif bagi Trump. Sebanyak 51 persen responden setuju bahwa presiden pantas menerima pujian signifikan jika upaya perdamaiannya di Gaza dan Palestina secara keseluruhan berhasil. Hanya 42 persen yang tidak setuju, menandakan potensi dukungan bipartisan jika hasil nyata tercapai—seperti pembebasan sandera yang tersisa, penarikan pasukan Israel lebih lanjut, dan pembentukan tata kelola Gaza yang stabil.
Peningkatan kecil dalam tingkat penerimaan kebijakan luar negeri Trump turut tercatat: mencapai 38 persen dalam survei ini, naik dari 33 persen pada awal Oktober 2025, tepat sebelum kesepakatan gencatan senjata diumumkan. Ini merupakan angka tertinggi sejak Juli lalu, menurut para pengamat, dan bisa menjadi momentum bagi negosiasi lanjutan yang melibatkan Hamas, Israel, dan otoritas Palestina.
Jajak pendapat ini dilakukan secara daring dengan melibatkan 4.385 responden dari seluruh AS, dengan margin kesalahan sekitar 2 poin persentase. Skala sampel yang representatif ini memungkinkan analisis mendalam tentang tren opini, yang menurut para ahli hubungan internasional mencerminkan pergeseran global pasca-perang Gaza yang dimulai pada Oktober 2023.
Dalam konteks akademis, temuan ini selaras dengan studi-studi sebelumnya tentang dinamika opini publik AS terhadap konflik Israel-Palestina, seperti yang didokumentasikan dalam jurnal International Relations Quarterly tahun 2024. Peneliti seperti Dr. Elena Ramirez dari Universitas Georgetown mencatat bahwa dukungan untuk pengakuan Palestina telah naik secara konsisten sejak 2023, didorong oleh paparan media sosial terhadap dampak kemanusiaan. “Ini bukan hanya soal partisan; ini tentang evolusi nilai-nilai Amerika yang semakin menekankan keadilan global,” kata Ramirez dalam wawancara baru-baru ini.
Implikasi survei ini bisa meluas ke arena diplomatik. Dengan mayoritas negara PBB yang telah mengakui Palestina, tekanan terhadap AS—sebagai sekutu utama Israel—semakin kuat. Jika Trump mengabaikan sinyal ini, risikonya adalah isolasi lebih lanjut di panggung internasional, terutama menjelang pemilu mendatang. Sebaliknya, langkah menuju pengakuan bisa menjadi warisan perdamaian yang langka bagi era kepemimpinannya yang kedua.
Sementara negosiasi tetap rapuh—with isu seperti perlucutan senjata Hamas dan kendali keamanan Gaza masih menggantung—survei ini menggarisbawahi bahwa rakyat AS, lintas garis politik, haus akan solusi yang adil. Di saat dunia menyaksikan, apakah Trump akan mendengar panggilan ini? Hanya waktu yang akan menjawab.
Pewarta : Setiawan Wibisono
