
RI News Portal. Bandar Lampung, 22 Agustus 2025 – Di tengah dinamika sistem hukum Indonesia yang sering dikritik karena ketidakadilan struktural, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Dharma Loka Nusantara (DLN) telah meluncurkan inisiatif pendidikan inovatif bernama Legal Course dengan tema “Rekonstruksi Wacana Keadilan”. Program ini, yang resmi dibuka pada Kamis, 21 Agustus 2025, di kantor LBH DLN di kawasan Sukarame, Bandar Lampung, menandai upaya sistematis untuk mereformasi pemahaman keadilan di kalangan generasi muda. Berbeda dari pendidikan hukum konvensional yang cenderung dogmatis, inisiatif ini menekankan pendekatan interdisipliner yang mengintegrasikan filsafat, sosiologi, dan antropologi hukum, dengan tujuan membangun kesadaran kritis terhadap realitas sosial yang timpang.
LBH DLN, yang baru saja berdiri pada Februari 2025 sebagai mitra kritis pemerintah dalam penegakan supremasi hukum, telah menunjukkan komitmennya terhadap isu-isu lokal Lampung, termasuk konflik agraria, eksploitasi buruh, dan peningkatan kasus kekerasan seksual. Organisasi ini, yang terafiliasi dengan jaringan advokasi hukum nasional, lahir dari manifesto untuk menjadikan hukum sebagai alat pembebasan bagi masyarakat marjinal, bukan sekadar instrumen kekuasaan. Peluncuran Legal Course ini melibatkan 10 peserta terpilih dari berbagai perguruan tinggi di Bandar Lampung, seperti Universitas Lampung dan institusi swasta lainnya, yang dipilih berdasarkan minat mereka pada isu hukum dan keadilan sosial. Peserta ini bukan hanya mahasiswa hukum, melainkan juga dari disiplin lain, mencerminkan visi inklusif program untuk membangun gerakan hukum dari bawah.

Program Legal Course dirancang sebagai arena pendidikan alternatif yang melampaui kurikulum formal perguruan tinggi. Dengan durasi yang direncanakan berkelanjutan, kegiatan mencakup diskusi mendalam tentang teori keadilan—seperti konsep keadilan distributif John Rawls yang dikontekstualisasikan dengan kondisi Indonesia—analisis kasus nyata, dan pelatihan advokasi berbasis komunitas. Pendekatan ini mendorong peserta untuk merefleksikan realitas sosial, seperti ketidakadilan agraria di Lampung yang sering menguntungkan korporasi besar, dan mempertanyakan ulang konsep keadilan yang selama ini dianggap mutlak, seperti kepastian hukum yang kerap mengabaikan konteks budaya dan ekonomi lokal. Melalui sesi interaktif, peserta diajak untuk menggali nilai-nilai hukum yang berpihak pada rakyat, mengadopsi perspektif hukum kritis yang terinspirasi dari tradisi Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) sejak era Orde Baru.
Dalam pidato pembukaannya, Direktur LBH DLN, Ahmad Hadi Baladi Ummah—yang dikenal luas dengan sapaan Pupung—mengartikulasikan visi filosofis di balik program ini. Pupung, seorang advokat berpengalaman yang telah terlibat dalam berbagai kasus hak asasi manusia di Lampung, menyatakan bahwa inisiatif ini muncul dari kegelisahan atas dominasi narasi keadilan yang sempit dalam praktik hukum nasional. “Hukum di Indonesia sering kali lebih melayani kepentingan elite kekuasaan ketimbang merespons aspirasi keadilan masyarakat akar rumput. Kita harus merombak fondasi pemahaman kita tentang keadilan, menjadikannya proses dinamis yang kontekstual, bukan sekadar vonis pengadilan yang kaku,” ujar Pupung. Ia menambahkan bahwa Legal Course bertujuan mencetak generasi pembela keadilan yang tidak hanya mahir dalam terminologi hukum, tetapi juga empati terhadap penderitaan sosial, sebagai bagian dari upaya kolektif untuk mengembalikan hukum sebagai instrumen emansipasi. Pernyataan ini selaras dengan rekam jejak Pupung, yang sebelumnya telah mengecam kasus-kasus seperti pembubaran kegiatan mahasiswa dan dugaan pelecehan di institusi publik, menunjukkan konsistensi LBH DLN dalam advokasi.
Baca juga : Wakil Ketua DPRD Padangsidimpuan Serap Aspirasi Masyarakat di Kelurahan Padang Matinggi Lestari
Program ini dapat dilihat sebagai kontribusi terhadap diskursus hukum kritis di Indonesia, di mana pendidikan hukum tradisional sering dikritik karena kurangnya elemen reflektif dan interdisipliner. Dengan menekankan “rekonstruksi wacana,” LBH DLN mengadopsi kerangka teoretis yang mirip dengan critical legal studies, yang memandang hukum sebagai konstruksi sosial yang bisa direformasi untuk keadilan substantif. Ini juga menjadi ruang kolaboratif antar-mahasiswa lintas kampus, memfasilitasi pembentukan jaringan gerakan hukum grassroots yang potensial memengaruhi kebijakan lokal di Lampung, provinsi yang menghadapi tantangan seperti disparitas ekonomi dan konflik sumber daya alam.
LBH DLN menyatakan komitmennya untuk menjadikan Legal Course sebagai program tahunan, dengan harapan menumbuhkan generasi baru yang berani menantang ketidakadilan sistemik. Di tengah tren nasional di mana lembaga seperti YLBHI terus mendorong reformasi hukum, inisiatif ini menawarkan model pendidikan yang kontekstual dan berorientasi aksi, berpotensi menjadi katalisator perubahan di tingkat regional. Sebagai penutup, Pupung menekankan: “Ini bukan sekadar kursus; ini adalah panggilan untuk membumikan hukum sebagai alat pembebasan bagi yang tertindas.”
Pewarta : Lii
