
RI News Portal. Dieng, Wonosobo – Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Dieng Pandawa, Desa Dieng Kulon, Kabupaten Banjarnegara, memastikan pergelaran wisata budaya tahunan Dieng Culture Festival (DCF) XV digelar pada 23–24 Agustus 2025 di Kompleks Candi Arjuna, dengan mengusung tema “Back to The Culture”. Festival ini tetap menampilkan agenda utama berupa kirab budaya dan ritual cukur rambut anak gimbal (ruwatan anak berambut gimbal), namun tanpa kehadiran program populer Jazz Atas Awan yang selama ini menjadi ikon hiburan modern festival tersebut.
Ketua Pokdarwis Dieng Pandawa, Alif Faozi, menegaskan keputusan tersebut diambil sebagai upaya mengembalikan fokus DCF pada nilai budaya lokal. “Jazz Atas Awan kami tiadakan dan digantikan dengan Orchestra Symphony Dieng. Kami ingin memberi nuansa baru yang tetap bernapas budaya,” ujarnya di Banjarnegara, Jumat (18/7).

DCF XV akan diluncurkan resmi 26–27 Juli 2025 bersamaan dengan penyelenggaraan Geothermal Festival dan Dieng Fun Walk yang menawarkan dua kategori jarak, yaitu 5 km dan 10 km. Agenda tersebut merupakan hasil kerja sama Pokdarwis Dieng Pandawa, Tim KKN Universitas Gadjah Mada (UGM), serta Pemerintah Kabupaten Banjarnegara.
Faozi menjelaskan bahwa festival ini bersifat terbuka untuk umum, namun terdapat pembatasan di dua titik inti: ritual cukur rambut gimbal di Kompleks Candi Arjuna dan pertunjukan Orchestra Symphony Dieng di Panggung Pandawa. Selain itu, masyarakat dapat menikmati pertunjukan di Panggung Sembadra dan Panggung Gatotkaca.
Penghapusan Jazz Atas Awan tidak lepas dari kritik publik dalam beberapa tahun terakhir yang menilai DCF cenderung bergeser ke arah hiburan modern. “Calon wisatawan sering kali menanyakan ‘DCF tahun ini artisnya siapa’, bukan berapa anak gimbal yang akan diruwat. Ini menunjukkan pergeseran makna,” jelas Faozi.
Baca juga : Koperasi sebagai Fondasi Ekonomi Lokal di Kabupaten Bekasi: Adaptasi Digital dan Sinergi Industri
Tema “Back to The Culture” diharapkan mampu mengembalikan marwah DCF sebagai sarana pelestarian budaya lokal sekaligus penguatan identitas pariwisata berbasis kearifan lokal. Secara historis, DCF merupakan agenda unggulan Kabupaten Banjarnegara yang memadukan kekayaan budaya dengan keindahan alam Dataran Tinggi Dieng.
Bupati Banjarnegara, Amalia Desiana, menegaskan komitmen pemerintah daerah dalam mendukung DCF XV. Menurutnya, festival ini menjadi momentum strategis untuk promosi budaya, peningkatan daya tarik wisata, dan pemberdayaan ekonomi masyarakat. “Saya sangat mendukung dan mengajak masyarakat untuk hadir. Kalau tidak datang, saya jamin menyesal,” ujarnya.
Menariknya, DCF XV tahun ini tidak masuk dalam Karisma Event Nusantara (KEN) 2025, meskipun sebelumnya DCF berada di posisi 10 Top KEN 2024. Keputusan ini, menurut Faozi, merupakan strategi untuk mengurangi beban administratif dan tekanan evaluasi. “Kami ingin lebih santai. Tahun ini kami fokus melihat minat wisatawan tanpa Jazz Atas Awan,” katanya. Jika minat tetap tinggi, tidak menutup kemungkinan DCF kembali masuk KEN pada 2026.
Fenomena ini mencerminkan dilema klasik dalam pengelolaan pariwisata budaya: antara pelestarian autentisitas dan tuntutan komersialisme wisata. Strategi penghapusan hiburan modern seperti Jazz Atas Awan mengindikasikan upaya revitalisasi nilai budaya sebagai core value destinasi. Namun, pertanyaan kuncinya adalah sejauh mana orientasi kembali ke akar budaya dapat mempertahankan minat wisatawan di tengah tren pariwisata yang semakin mengedepankan hiburan populer.
Model kolaborasi Pokdarwis, pemerintah daerah, dan perguruan tinggi (UGM) juga menjadi studi kasus menarik terkait sinergi pentahelix dalam pengembangan destinasi berkelanjutan. Hal ini selaras dengan pendekatan community-based tourism (CBT) yang menempatkan masyarakat lokal sebagai penggerak utama sekaligus penerima manfaat ekonomi.
Pewarta : Rendro
