
RI News Portal. Aceh Utara, 14 Juli 2025 — Sebuah insiden yang mengusik nalar publik terjadi di Puskesmas Tanah Pasir, Kabupaten Aceh Utara, Sabtu (12/7), ketika seorang pasien kecelakaan kerja dengan luka berat di ibu jari tangan kiri terpaksa dirujuk ke RSUD Cut Meutia menggunakan sepeda motor. Pasien bernama M. Nasir (46), warga Gampong Alue, Kecamatan Tanah Pasir, tidak memperoleh akses ambulans karena sopir ambulans dilaporkan tidak berada di tempat saat dibutuhkan.
Kejadian tersebut menuai sorotan tajam dari berbagai kalangan, termasuk Wakil Ketua Komisi IV DPRK Aceh Utara, Muhammad Rizal, dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Dalam keterangannya pada Senin (14/7), Rizal menyebut peristiwa ini sebagai bentuk nyata dari lemahnya sistem pelayanan kesehatan di tingkat primer, terutama saat hari libur.
“Saya sangat menyayangkan dan geram atas kejadian ini. Puskesmas sebagai garda terdepan pelayanan kesehatan masyarakat harus selalu siaga, terlebih dalam kondisi darurat,” ujar Rizal.

Lebih lanjut, ia menyebutkan bahwa berdasarkan laporan masyarakat, terdapat kecenderungan penurunan layanan medis di hari libur. Bahkan, disebutkan bahwa beberapa ruang instalasi gawat darurat (IGD) di sejumlah puskesmas sempat tertutup dan terkunci pada hari libur, situasi yang tentu saja bertentangan dengan prinsip dasar pelayanan publik yang responsif dan berkeadilan.
Kritik Rizal diperkuat oleh seruan agar Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Utara segera melakukan evaluasi terhadap manajemen operasional puskesmas, khususnya dalam hal kehadiran sumber daya manusia yang krusial seperti sopir ambulans dan tenaga medis jaga. Ia mengingatkan bahwa visi “Aceh Utara Bangkit” yang dicanangkan Bupati Ismail A. Jalil (Ayahwa) menuntut kesiapan sistem dan integritas pelaksana di lapangan.
“Tidak bisa main-main dengan kesehatan masyarakat. Jika perlu, ada sanksi administratif terhadap yang lalai,” tegas Rizal.
Menanggapi pemberitaan yang beredar, Kepala Puskesmas Tanah Pasir, dr. Jarita, memberikan bantahan terhadap tudingan tersebut. Ia menyatakan bahwa pada saat kejadian, baik sopir ambulans maupun petugas medis berada di tempat dan siap melayani. Ia juga menyebut bahwa pihak keluarga pasien memilih untuk menggunakan kendaraan pribadi, bukan ambulans.
Baca juga : Indonesia Tegaskan Komitmen Teguh Dukung Palestina dalam CEAPAD IV di Kuala Lumpur
Namun, berdasarkan konfirmasi lapangan oleh awak media, ditemukan bahwa kepala puskesmas tidak berada di lokasi saat kejadian berlangsung dan informasi terkait penggunaan sepeda motor disampaikan langsung oleh pihak keluarga. Sementara itu, tidak ditemukan bukti bahwa ruang IGD tertutup, tetapi ketidakhadiran sopir ambulans pada momen krusial tetap menjadi pokok permasalahan yang tidak bisa diabaikan.
Kasus ini membuka diskursus penting mengenai hak atas kesehatan sebagai bagian dari hak asasi manusia, serta tanggung jawab negara dalam menjamin akses pelayanan kesehatan darurat, sebagaimana dijamin dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 dan UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Pelayanan ambulans, khususnya dalam kondisi kegawatdaruratan, tidak hanya bersifat administratif tetapi juga menyangkut etika profesional dan keselamatan jiwa.
Dalam konteks tata kelola pemerintahan, insiden ini menunjukkan adanya gap dalam manajemen krisis dan operasionalisasi layanan publik berbasis siaga 24 jam. Puskesmas sebagai unit pelayanan kesehatan tingkat pertama harus memiliki sistem on-call emergency yang menjamin ketersediaan sopir ambulans dan tenaga medis pada semua waktu, termasuk hari libur dan malam hari.
Disparitas antara narasi pejabat puskesmas dan fakta lapangan menunjukkan perlunya pendekatan berbasis audit pelayanan publik dan transparansi informasi, sebagaimana diamanatkan oleh Peraturan Menteri PAN-RB No. 14 Tahun 2017 tentang Pedoman Penyusunan Survei Kepuasan Masyarakat.
Insiden ini tidak bisa dilihat sebagai kesalahan individual semata, tetapi perlu dibaca dalam konteks kegagalan sistemik tata kelola pelayanan kesehatan primer di daerah. Pemerintah daerah, khususnya Dinas Kesehatan Aceh Utara, perlu membangun mekanisme evaluasi internal, memperkuat SOP pelayanan darurat, serta meningkatkan literasi etika profesi kesehatan di tingkat layanan dasar.
Jika tidak ada langkah korektif yang tegas dan sistemik, kepercayaan publik terhadap layanan kesehatan pemerintah akan terus mengalami erosi. Pelayanan kesehatan bukan sekadar tugas teknokratis, tetapi bentuk nyata kehadiran negara dalam melindungi setiap warga, terutama dalam situasi paling rentan.
Pewata : Jaulin Saran

