
RI News Portal. Brussel 13 Juli 2025 – Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto dijadwalkan bertemu dengan dua pimpinan tertinggi Uni Eropa, yakni Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen dan Presiden Dewan Eropa Antonio Costa, dalam rangkaian kunjungan kenegaraan di Brussel, Sabtu (12/7/2025). Pertemuan ini menjadi penanda penting dalam proses finalisasi Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA), atau Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia–Uni Eropa, yang telah memasuki tahun ke-10 sejak dimulai.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menegaskan bahwa perundingan IEU-CEPA kini telah memasuki tahap akhir dan tidak lagi mengalami hambatan substansial. “Perundingan IEU-CEPA sudah memasuki tahun ke-10 atau lebih dari 19 putaran. Ini akan menjadi milestone besar di tengah ketidakpastian global,” ujarnya di Brussel.
Airlangga menyampaikan bahwa penandatanganan IEU-CEPA direncanakan pada kuartal III tahun 2025 di Jakarta, seraya menunggu pengumuman resmi dari Presiden Prabowo Subianto. Ia menyebut, keberhasilan perundingan ini akan membawa dampak signifikan bagi akses pasar Indonesia ke Uni Eropa, salah satu kawasan perdagangan terbesar dunia.

IEU-CEPA merupakan perjanjian dagang komprehensif yang meliputi isu-isu tarif, jasa, investasi, perlindungan kekayaan intelektual, serta aspek keberlanjutan lingkungan dan hak tenaga kerja. Dalam kerangka hukum internasional, IEU-CEPA tergolong sebagai perjanjian bilateral multilateral yang memiliki kekuatan mengikat bagi kedua belah pihak setelah diratifikasi oleh parlemen masing-masing.
Finalisasi IEU-CEPA menjadi wujud komitmen Indonesia dalam integrasi ekonomi global berbasis hukum dan tata kelola perdagangan yang adil. Ketiadaan hambatan hukum saat ini mencerminkan keselarasan antara posisi perundingan Indonesia dan Uni Eropa, terutama setelah Indonesia resmi menjadi anggota OECD (Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi).
Jika ditandatangani, IEU-CEPA memungkinkan produk-produk unggulan Indonesia seperti CPO, tekstil, perikanan, dan furnitur masuk ke pasar Eropa dengan tarif preferensial hingga nol persen. Hal ini membuka peluang signifikan bagi perluasan ekspor dan penciptaan nilai tambah domestik, di tengah diversifikasi pasar global Indonesia.
Baca juga : Dugaan Penyelewengan Solar Subsidi oleh PT Giza Usaha Bersama di Jateng: Sorotan Hukum dan Dampak Sosial
“Eropa akan menjadi alternatif pasar yang sangat besar. Nilai impornya mencapai USD6,6 triliun, jauh lebih besar dari AS yang hanya USD3,3 triliun,” tegas Airlangga. Selain manfaat ekonomi langsung, keberhasilan ini juga meningkatkan posisi tawar Indonesia dalam skema kerja sama regional ASEAN dan menempatkannya sebagai jangkar pertumbuhan kawasan.
Secara akademis, IEU-CEPA menuntut Indonesia untuk memperkuat kerangka hukum domestik di bidang standar lingkungan, ketenagakerjaan, dan transparansi perdagangan. Meskipun memberi peluang besar, IEU-CEPA juga mengandung risiko asimetri kepentingan apabila Indonesia tidak memiliki instrumen kebijakan yang memadai untuk melindungi sektor rentan.
Selain itu, aspek etika politik dan kedaulatan ekonomi menjadi perbincangan penting. Perlu ada pengawasan agar IEU-CEPA tidak menjadi instrumen dominasi pasar oleh korporasi asing, melainkan sebagai landasan kemitraan setara yang berpihak pada pembangunan inklusif dan berkelanjutan di Indonesia.
Pewarta : Setiawan S.TH

