
RI News Portal. Jakarta, 5 Juli 2025 — Menteri Hak Asasi Manusia (HAM) Natalius Pigai menegaskan tidak akan menindaklanjuti usulan penjaminan hukum bagi para tersangka perusakan rumah singgah di Desa Tangkil, Sukabumi, Jawa Barat. Penegasan ini disampaikan setelah muncul wacana dari Staf Khusus Menteri HAM, Thomas Harming Suwarta, yang mengusulkan penangguhan penahanan bagi para tersangka.
Pigai menilai bahwa langkah penjaminan hukum tersebut berpotensi mencederai rasa keadilan korban. “Sebagai Menteri HAM, saya tidak akan menindaklanjuti usulan spontanitas Thomas S Suwarta. Karena itu mencederai perasaan ketidakadilan bagi pihak korban,” ujar Pigai melalui akun X resminya, Sabtu (5/7/2025).
Lebih lanjut, Pigai menegaskan bahwa sampai saat ini Kementerian HAM belum mengeluarkan sikap resmi terkait kasus tersebut. Pihaknya masih menunggu laporan lengkap dari Kantor Wilayah Kementerian HAM Jawa Barat sebelum memutuskan kebijakan lanjutan. “Sampai saat ini, kami belum mengeluarkan surat. Atau sikap resmi dari Kementerian HAM,” tegasnya.

Sementara itu, Thomas Harming Suwarta menjelaskan bahwa gagasannya masih bersifat pribadi dan belum pernah dituangkan dalam keputusan resmi kementerian. “Ini baru sebatas usulan, setelah melihat dinamika di lapangan. Belum ada surat resmi dari kementerian,” ujarnya.
Kasus ini menunjukkan bagaimana otoritas kementerian harus mempertimbangkan keseimbangan antara prinsip perlindungan hak asasi manusia tersangka dan pemenuhan rasa keadilan korban. Penangguhan penahanan atau penjaminan hukum memang sah secara prosedural sepanjang sesuai ketentuan KUHAP dan prinsip praduga tak bersalah. Namun, dari perspektif keadilan restoratif dan perlindungan korban, keputusan tersebut harus dikaji secara hati-hati agar tidak menimbulkan trauma lanjutan atau ketidakpercayaan publik terhadap lembaga penegak hukum.
Baca juga : Jakarta Dalam Warna: Penguatan Identitas Budaya Betawi di Ruang Publik
Penegasan Menteri HAM Natalius Pigai dapat dibaca sebagai bentuk kehati-hatian birokrasi dalam merespons usulan yang berpotensi menimbulkan kontroversi, apalagi jika belum ada kajian menyeluruh dari laporan wilayah setempat. Hal ini juga memperlihatkan upaya menjaga akuntabilitas serta transparansi lembaga negara di tengah ekspektasi publik yang tinggi terhadap perlindungan hak korban.
Secara normatif, penjaminan hukum bagi tersangka memang dapat diajukan siapa pun, termasuk pejabat negara, namun perlu disertai alasan hukum yang proporsional serta mempertimbangkan kepentingan masyarakat luas. Sikap Menteri HAM yang menolak menindaklanjuti usulan spontan staf khususnya mengindikasikan preferensi terhadap prinsip perlindungan korban sebagai prioritas kebijakan.
Peristiwa ini memberikan pelajaran penting tentang perlunya kehati-hatian dalam setiap wacana kebijakan publik yang berkaitan dengan perlindungan hak asasi manusia. Keseimbangan antara hak-hak tersangka dan rasa keadilan korban tetap menjadi tantangan bagi lembaga negara, termasuk Kementerian HAM. Respons tegas Menteri Natalius Pigai sekaligus menegaskan bahwa proses verifikasi fakta dan data tetap menjadi pijakan utama sebelum keputusan apa pun diambil, demi memastikan perlindungan HAM yang berkeadilan dan tidak bias.
Pewarta : Setiawan S.TH

